Judul di atas berbau dongeng. Dan itu lah yang sedang terpikirkan saat tergerak menulis pos ini.
Dari mana memulainya? Mungkin dari sini : ” Anak-anak menemukan sihir karena mereka mencarinya.”
Kutipan itu terpikir setelah beberapa lama menatap layar kosong dengan kursor berkedip-kedip. Seolah tertawa agar saya memulai saja mengetuk keyboards. Seadanya. Jadi wajarlah lupa mencatat siapa pelahir kutipan manis ini. Satu yang pasti kebenarannya tak terbantahkan berdasarkan pengalaman masa kanak-kanak saya.
Dan yang paling bertanggung jawab menyalakan sihir di masa kanak-kanak saya, setelah nenek, adalah Hans Christian Andersen (2 April 1805 – 4 Agustus 1875). Penulis kelahiran Denmark ini banyak melahirkan drama, travelogues , novel, dan puisi. Namun pria bermata sayu ini paling diingat untuk buku dongeng-dongengnya. Teman-teman pasti kenal Thumbelina, Sepatu Merah, Bebek Buruk Rupa, Pakaian Baru Kaisar, The Little Mermaid, The Nightingale, dan masih banyak lagi.
Begitu hebatnya pengaruh sihir Andersens sehingga saya pun pernah menderita karenanya . Waktu itu masih duduk di kelas satu SMP, dalam jam pelajaran fisika, dan baru dapat pinjaman The Snow Queen (Ratu Salju).Lalu siapa bisa mencegah keinginan membaca dongeng dari seorang anak pendiam yang sering kebelet pipis kalau berjumpa pelajaran tak disukai?
The Snow Queen saya selipkan diantara buku catatan. Seolah saya asyik memahami fisika, padahal sedang bersimpati pada Kai yang habis dikutuk cermin ajaib. Ia tidak bisa lagi merasakan kebaikan dari manapun kecuali dari sahabatnya Gerda dan bunga mawar di bawah jendela. Mungkin Pak guru menanyakan sesuatu dari muka kelas, tapi saya terlarut dalam penderitaan Kai yang diculik pada suatu malam yang dingin oleh Ratu Salju yang jahat. Pun tak menyadari ketika Pak Guru beringsut perlahan mendekati dan berniat membuka kedok saya. Perhatian saya hanya diberikan pada Gerda yang harus melakukan perjalanan sulit di malam-malam gelap di atas salju. Ia ingin menyelamatkan Kai yang ia cintai. Ia tak punya siapa-siapa dan hanya dibimbing seekor gagak. Belum lagi para bandit bertekat untuk mencelakainya. Dan ketika sampai di tempat Kai ditahan persoalan belum juga usai. Rupanya pecahan cermin ajaib telah mengenai hati Kai sehingga membeku. Gerda perlu mencari cara bagaimana mencairkan es di hati sahabatnya.
Saya hanyut dan tak terselamatkan. Pak Guru merebut buku catatan itu dengan sekali hentakan. Kekuatannya meluluh lantakan semua kaca ajaib di dalam kelas. Derainya berhamburan ke seluruh pelosok termasuk ke dalam hati saya. Jantung bertabuh liar. Darah berhenti mengalir. Muka panas. Bibir pias. Tangan dingin dan gemetaran.
Drama itu perlu diperpanjang agar memberi efek yang diinginkan. Pak guru membacakan sebaris catatan fisika lalu disambung adegan di Istana Salju. Saat Kai berjumpa Gerda pertama kali. Mimiknya seperti Ken Arok mengalahkan Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung. Teman-teman tertawa tapi saya berharap tenggelam dibawah gundukan salju. Belum lagi harus berhadapan dengan guru BP setelah itu. Kaca ajaib Andersens sukses menggelapkan hari saya untuk beberapa lama.
Kapok kah saya? Tidak. Sihir Andersens terlalu kuat. Ken Arok belum pernah membaca Andersens. Ia tak mampu melihat dunia yang saya lihat. Jadi mengapa harus menyerah? Saat itu belum mampu mengungkapkan pembangkangan di batin ini. Saya pikir cuma tak terima dipermalukan. Namun sekarang menyadari bahwa sejak kecil ternyata saya tidak mampu menari dengan tabuhan gendang orang lain.
Yang pernah jadi penggemar Andersens pasti tahu, dibalik kisah yang seru betapa menawannya lokasi-lokasi yang jadi latar belakang cerita. Gunung-gunung bersalju atau hijau dengan pohon cemara runcing menembus awan. Padang rumput luas dengan sapi-sapi yang mencari makan. Rumah-rumah pertanian berdinding bata merah, berjendela lebar dengan daun pintu bercat putih, dan cerobong asap di atasnya.
Dengan bertambahnya umur Andersens tertinggal di belakang. Saya memasuki dunia persilatan yang penuh marabahaya tapi juga sarat nilai-nilai kemanusiaan. Cinta tanpa batas. Pengorbanan tanpa pamrih. Kho Ping Ho dan rekan-rekannya berhasil mengombang-ambingkan saya bahwa dunia tak selalu hitam-putih. Namun karena lebih mudah diakses orientasi bacaan tetap lebih banyak ke barat ketimbang di Timur. Berenang dalam imajinasi Enid Blyton, Franklin W Dixon, Karl May, dan bahkan Agatha Christie jadi kebutuhan setelah makan. Di dalam negeri saya dibuat matang oleh Eddy D Iskandar, Ashadi Siregar, La Rose dan Motinggo Bushe.
Ketika tumbuh dewasa dan harus menghadapi masalah-masalah nyata seperti kerja, keuangan, dan tanggung jawab , kenangan di masa kecil tertimbun begitu saja. Romansa fiksi jadi semacam receh dibanding “pentingnya” mengurus kehidupan dewasa. Bacaan saya beralih ke buku-buku motivasi. Ujaran Robert Kiyosaki, Tony Robbins, Eric Thomas, Nick Vujicic, Zig Ziglar, dan Jim Rohn mengisi kolom-kolom informasi saya..
Lansekap Eropa yang Membangkit Kenangan
Tapi tempat, aroma, dan musik adalah media paling ampuh untuk membongkar apapun dari gudang memori. Para pencetus itu memampukan kita bernostalgia untuk tahun-tahun penuh kepahitan maupun pengalaman-pengalaman yang membahagiakan. Seperti yang saya alami saat melintasi Eropa dengan Bus Lintas Negara. Dari Paris menuju Brussels, diteruskan ke Jerman dan Swiss. Rumah-rumah pertanian dengan cerobong asap yang mengepul. Bunga warna-warni yang muncul di bawah jendela. Padang rumput dengan kawanan sapi merumput di atasnya. Pegunungan dengan cemara evergreen. Tanah pertanian berundak yang mirip lapangan golf di Indonesia.
Yang membuat heran adalah rasanya saya akrab dengan lansekap seperti itu. Padahal ini adalah perjalanan pertama kali ke Eropa. Tak lama untuk menyadari bahwa itu semua pernah dimasukan Andersens ke ingatan saya lewat fairy tales-nya. Bahkan juga ingat dulu sering melakukan sulaman kristik dengan model-model rumah seperti yang dilewati.
Seketika tahun-tahun bahagia saya berhamburan di udara. Suami dan anak-anak yang duduk di bangku sebelah tak lupa saya beritahu.
Memang masih ingat kenangan buram pada The Snow Queen. Namun ilustrasi warna pastel dari buku-buku Andersens yang selalu mencerahkan melekat lebih dalam. Ingat bagaimana saya menemukan pertama kali Sepatu Merah di perpustakaan sekolah. Bebek Buruk Rupa saya beli di lapak buku bekas di Gang Kwitang. Yang lain-lainnya antara dipinjami teman dan membeli dari uang jajan.
Waktu mengubah banyak hal. Dulu sering merasa sengsara karena acap dimarahi ibu karena keasyikan membaca buku cerita ketimbang belajar. Ingin pergi meninggalkan rumah karena merasa tak dimengerti. Alhamdulillah traveling lintas Eropa, menyaksikan pemandangan khasnya daerah ini memberitahu bahwa masa kanak-kanak saya berjalan sempurna. Penulis yang meninggal pada 4 Agustus 1875 telah memampukan saya melihat dunia dengan berbagai kesederhanaan yang manis, membuka pikiran ke jalan yang belum saya jelajahi.
Hidup saja tidak cukup … seseorang harus memiliki sinar matahari, kebebasan, dan sedikit bunga — HC Andersens …
Mari membuka buku dongeng kembali…
46 comments
bagus2 bgt fotonya… kayaknya dulu saya ga nemu deh lansekap yg kayak gtu.. apa saya yg ga perhatian yak.. hehehe
Pemandangannya cakep banget..suka dongengnya HC Andersen
Dongeng Andersen membuat Setiap anak gadis ingin jadi putri ya Mbak Dedew
Saya baru suka membaca beberapa tahun belakangan ini. Masa sekolah banyak saya habiskan untuk corat-coret buku (re: menggambar) dan olahraga.
Seru juga ya tanev, secara gk sadar, memori masa kecil sudah berhasil membawa tanev sampaike Eropa 🙂
Anak-anak mempunyai dunia sendiri. Emang gak harus sama. Yang senang menggambar berkembang juga imajinasinya di bidang itu, Dar 🙂
Seru deh bunda udah sampai eropaaaa… Bersih dan memanjakan mata sekali pemandangannya disana 😀
Cheers,
Dee – heydeerahma.com
Iya Dee. Keteraturan dan taat hukum (setidaknya terlihat dari luar) sudah jadi budaya mereka. Mari doakan Indonesia juga akan seperti itu. Amin
Tidaaak, sungguh membuat saya iri 😀
Foto di atas saya rasakan saat masih kecil, juga cerita-cerita dari Andersens.Ingat banget ada teman yang punya banyak buku anak dengan gambar-gambar cantik tapi dia gak suka baca, disitu saya merasa ada kehidupan tertukar hehehe.
Wah teman yang dikirim Tuhan sepertinya Lidha..Aku juga mengalaminya semasa kecil..Untung lah dia tidak pelit
Ya ampuun, foto-foto landscap-nya juaraaa, Mbak Evi. Sumpah jadi pengen banget ke sana
Terima kasih Mas Edy. Amin. Insya Allah dalam waktu dekat terbuka jalan ke sana ya Mas
Wuaaaah .. semua pedesaan ini pemandangannya bener-bener kayak di cerita dongeng , kereen banget
Adem ngelihatnya dan bakalan betah berlama-lama berada disana …
Hijau dan bersih juga dari segala sampah buatan manusia, Mas. Negara maju dengan pendapatan penduduknya yang memadai, serta pendidikan yang mumpuni. Semoga suatu saat terkejar oleh Indonesia ya 🙂
Ahhh saya juga suka buku2 Hans Anderson mba, kita bisa membayangkan jelas apa yang ditulis oleh dia di bukunya terutama lansekap dan situasi sekeliling
Itu lah yang membuatnya melegenda ya Kak Leo. Ia bisa menyampaikan daya hayalnya yang membuat seolah pembaca berada di sana 🙂
Tulisan ini membuat saya hanyut kedalam suasana pedalaman hijau bak cerita dongeng….
Terima kasih atas kunjungannya Mbak Syirhana
Ya, ampuun pemandangannya bagus dan indah sekali. Apalagi yang telah merasakan udara segarna di sana, ya. Alangkah dalamnya kenangan akan tertinggal. Kapan ya Bunda nyambangi bukit-bukit indah yang tidak terlalu terjal itu.
?
Insya allah bunda suatu saat anak-anak bunda akan menjajakan kaki di sini dan Bunda yg turut serta. Amin
Ikut senang melihat mbak Evi sudah berhasil menjejakkan kaki di Eropa. Semoga aku segera menyusul 🙂
Saat remaja, aku juga suka membaca buku-buku Enid Blyton sama Alfred Hitchcock. Judul-judul kayak Trio Detektif, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekaran, akrab di telingaku.
Buku-buku cerita petualangan remaja seperti karangan Alfred hitchcock dan enid blyton, gendernya sepanjang masa, jadi cocok dibaca oleh remaja di zaman apa pun sepanjang mereka menyukai cerita cerita petualangan, Ya Mas Nugie
Betul sekali, mbak
HC Andersen huwaaaaa dia juga menemani masa kecilku mbak, pas SMA baru suka Agatha Christie hehe 😀
Volendam itu pedesaan gtu ya mbak, berarti? Luar bisa pemandangannya 😀 TFS
Moga ada kesempatan nengok Eropa jg 😀
Volendam terdiri dari nesa nelayan dan pertanian, Mbak. Pemandangannya duh emang keren banget. Tapi itu saat musim panas sih. Gak tahu kalau nanti musim dingin. Semoga segera berangkat ke Eropa ya Mbak April. Amin
Senangnya jalan2 ke Eropa. Saya juga pengen balik lagi. Tapi ga mau sendiri. Maunya sama temen2 yg seru
Betul banget. Eropa itu lebih asyik dinikmati dengan teman-teman seru. Pokoknya jangan pernah sendiri kesana. Lah nanti yang fotoin siapa? Banyak banget spot foto kece soalnya hahaha
Kalo saya sih minta tolong fotoin orng mbak kalo sndrian.. hehehe…
ken arok dan saya mungkin sama sama punya kesamaan : sama sama belum pernah melihat salju.. 🙂
ken arok dan saya juga mungkin sama sama punya kesamaan : belum pernah ke belanda..
Karena jalan kehidupan unik untuk setiap individu, mungkin tak harus sama Mas 🙂
saya jadi ikut terbawa Bu dengan foto2 dan cara Ibu bercerita di artikel ini.
masih teringat jelas di benakku,sewaktu mama sering bercerita tentang Tin Tin, tentang Cinderella sampai Hansel and Gretel.
terima kasih buat artikelnya Bu, mengingatkan saya pada masa kecil 🙂
Sama-sama Mbak Lia…Kenangan pada cerita-cerita dongeng di masa kanak-kanak menimbulkan hangat hati ya
bener kayak di negeri dongeng ya,,, suka banget sama pemandangan hijau seperti ini.
Memang ini vie yang memanjakan mata dan imajinasi Mas Dzul 🙂
iitu foto-fotonyaaaa *memabukkan* mbaaa, jadi mabuk darat, laut & udaraaa (#bukaniklanantimo) 😀
Foto yang aku ambil pakai ponsel dari bus yang sedang berlari Mbak. Lansekapnya memang fotogenik jadi walau diambil secara serampangan tetap cantik 🙂
Semasa kecil nggak sempat terbeli buku-buku cerita seperti itu karena anak-anak di kampung tak terjangkau bacaan cerita dan dongeng-dongeng ala fairy tales. Sulit mendapatkan toko buku bahkan kios-kios atau tukang koran sekalipun. Bacaan seperti itu adalah barang langka bagi kami. Padahal saya hobby baca buku cerita. Bisa tahan tidak tidur mungkin jika baca buku-buku Anderson.
Mbak, aku takjub menyaksikan foto-fotonya. Luar biasa. Sehat terus ya, kami doakan.
Tapi anak-anak di kampung punya nenek atau kakek yang mau bercerita. Mereka punya lahan bermain, hidup dilingkungan asri, dikelilingi sawah dan pohon-pohon hijau..Itu semua tak dimiliki anak kota. Jadi penggantinya adalah buku cerita hehehe…
alam di foto itu indah dan rumah pertaniannya unik
Permukaan bumi ini emang unik ya Mbak. Beda iklmi beda pula penampilannya 🙂
alam di foto itu indah ya dan rumah pertanian unik sekali
Aku terpukau liat foto2nya, mbak.. Dan aku jg pembaca Andersen, mungkin generasi skrg gak tau…
Yak kita bertemu sesama pehobi Ardersens. Salim. Makasih Mbak Vika 🙂
foto2 nya sangat segar dan mengingatkan saya di masa kanak2 mbakk heheee, saat dimana nonton kartun yang berkisah tentang kehidupan desa yang sejuk hidup putri cantik yang menjadi incaran nenek penyihir jahaat hehehee
*masa kanak2 yg indah kala itu
Kayaknya itu juga imajinasi yang ditanamkan peradaban barat, Mas. Kayaknya dalam cerita-cerita legenda kita tak ada nenek penyihir hehehe..
Keinginan saya untuk berpetualang di masa kecil muncul ketika membaca kisah Tintin, Asterix dan Candy-Candy. Tapi anehnya, yang membuat saya berkahyal jalan² ke mana² justru game komputer macam Monkey Island dan sebuah anime Jepang tidak terkenal yang judulnya J9-III Wonder Six. Masa kecil memang masa yang paling menyenangkan.
Kesukaan dan kebetulan-kebetulan yang kita temui dalam hidup menciptakan koloni perangkat yang membuat kita suka atau tidak suka pada sesuatu mas. Kebetulan dirimu bertemu buku-buku dan game yang jadi dasar imajinasi dan mempengaruhi hobi jalan-jalan saat dewasa 🙂