Kata-kata itu membentuk benang di mana kita mengikatkan pengalaman-pengalaman di dalamnya – ALDOUS HUXLEY
Kata-kata mutiara dari filsuf dan penulis Inggris ini bergema di kepala kala suatu pagi berbelanja di pasar tradisional yang becek di Tanggerang. “Bodoh itu saja tak bisa!” Meluncur dengan ringan dari mulut seorang bapak kepada anak lelaki berumur sekitar 11 tahun. Anak itu menunduk dengan wajah datar. Seolah tak terpengaruh. Mungkin karena ia terbiasa menerima makian seperti itu. Tapi pada ujung matanya aku melihat air bening.
Tak mengerti benar apa yang terjadi antara ayah dan anak tukang ayam ini hingga sampai keluar kalimat yang mematahkan hati tersebut. Yang saya tahu hanya lah saya ingin memeluk anak lelaki ganteng itu dan membisikan ke telinganya bahwa kata-kata ayahnya tidak benar. Lalu membiarkan sedikit perangai babar warisan nenek moyang dengan “menggampar mulut” bapak tak tahu diri itu. Untung keduanya tak terjadi. Tenang saja tak ada “drama” di pasar pagi itu.
Berapa banyak kebodohan di dunia ini, pikir saya galau sambil berlalu dari situ. Saya kehilangan minat membeli ayam darinya. Tahu kah bapak itu bahwa kata-kata atau kalimat yang digunakan bisa membentuk karakter anaknya? Tahu kah bahwa selalu ada kuasa dari tiap kalimat yang kita tujukan kepada orang lain? Entah kalimat menginspirasi atau kalimat menjatuhkan, kata-kata selalu bisa mendatangkan bahagia atau mengundang depresi?
Memahami Kekuatan Konteks Kata-Kata
Nenek moyang yang mewariskan peribahasa “Mulutmu adalah Harimaumu” tidak pernah salah dengan kata-katanya. Sejarah sudah mencatat betapa kata-kata mampu memicu peperangan maupun menciptakan perdamaian. Coba lah berjalan di trotoar Jakarta lalu panggil semua orang yang melintas: Babi! Rasanya kesempatanmu untuk hidup tinggal lima menit setelah melemparkan sebutan hewan yang tak bersalah tersebut kepada seseorang yang kebetulan juga sedang bad mood. Karena apa? Karena babi dimaknai buruk bila dilekatkan pada manusia.
Situasi dan intensitas emosional saat mengucapkan membuat makna kata-kata berbeda. Misalnya Babi yang diucapkan kepada teman sebaya dalam konteks bercanda, hanya akan ditanggapi dengan tertawa. Atau seorang anak muda yang gagal menangkap kode-kode cinta dari sang kekasih, pasti tak keberatan mendengar ” Bodoh begitu saja tak bisa” yang diucapkan lembut dan dengan sorot mata yang sanggup membuat lilin meleleh.
Pilih lah Kata-Kata yang Membangun
Saya manusia biasa. Tak terhindarkan bila sewaktu-waktu terperangkap dalam emosi negatif lalu marah. Nah seorang wanita yang amat berpengaruh dalam hidup saya, seorang wanita tua yang kupanggil nenek, yang sangat jenius dalam berbahasa (bahasa Minang), tahu persis karakter spontanitas cucunya. Sering mengucapkan kata-kata tanpa di saring. Maka ia mengajarkan agar berhitung sampai lima sebelum bicara kepada seseorang.
Mungkin nenek tak selalu benar. Mungkin ajarannya membuat saya jadi pendiam. Tapi satu kebenaran yang tak bisa dipungkiri, alih-alih mengeluarkan kata-kata meruntuhkan, mengapa tidak secara sadar memilih kata-kata yang membangun?
“Kamu terlihat cantik” jauh lebih baik ketimbang mengatakan “Eh kok kamu kelihatan lebih gemuk sekarang” kepada teman wanita yang beberapa waktu tak bertemu. Sekalipun yang pertama tidak benar dan yang kedua fakta, jauh lebih bermanfaat bagi sang teman jika sorot mata kita tertuju pada hal-hal yang baik darinya ketimbang sebaliknya. Lalu apakah itu berdusta? Tidak. Bila engkau rela menyebutnya teman pasti ada sesuatu yang cantik darinya yang bisa dibanggakan!
Begitu pun kepada anak-anak. Namanya juga anak-anak. Perkembangan otak mereka belum semaju orang dewasa. Jika mereka melakukan kesalahan atau bertindak tidak sesuai keinginan, mengapa tak mengatakan:” Okey nak ini salah tapi kamu bisa memperbaikinya”.
Jadi mari pilih kata-katamu. Mari bijak dengan kata-kata
Serpong, 12 Desember 2017 – Catatan Random disela menyelesaikan laporan akhir tahun
23 comments
Sedih ya pastinya si anak ketika dimaki, dihina, bahkan di pasar yang banyak kuping mendengar dan mata yang menatap kasihan ke si anak. Pemilihan kalimat, sedekat apapun, sebecanda apapun, ber-hati2lah. Mulut orang itu mungkin tertawa atas nama pertemanan atau basa-basi, tapi belum tentu dengan hatinya. Bukan marahnya yang ditakuti, tapi ketika dia mengadu pada Tuhan 🙂
Lidah tak bertulang ya. Cukup sulit kadang ngontrol apa yang keluar dari mulut. Kalau kata orang, “Taste your words before you spit them out,” benar adanya. Pikir dulu baik-baik, apakah kalimat yang mau kita ucapkan bakal menyakiti orang lain apa nggak, dan bagaimana rasanya kalau kalimat yang sama terlontar dari mulut orang untuk kita. Thanks for reminding. 🙂
Kadang pepatah yang mengatakan Mulutmu adalah harimaumu Benar banget. Iya akan menerkam hati orang yang menerima kata-kata tersebut. Kadang orang tidak berempati dan tidak bisa membayangkan apakah kata-kata yang dikeluarkan akan berpotensi menyakiti hati orang lain atau tidak. Seharusnya lah memang kita mendidik diri sendiri terus menerus agar tidak sembarangan mengeluarkan kata-kata yang dapat melukai hati orang lain
Jadi berasa diingetin nih buat lebih nyaring kata2. Kadang emang ada orang yg merasa pernyatan dia itu biasa aja, padahal buat yg nerima mah lumayan nyakitin.
Nah memang begitu Ran. Kala maksud kita baik, orang lain belum tentu menerimanya demikian. Memang lah ya kata-kata harus diseleksi banget, biar keluarnya enak didengar 🙂
Dasar kamu Angelina Jolie 🙂
Memang susah mengontrol kata-kata setiap emosi muncul, kadangpun saya hanya mengepalkan tangan ketimbang berkata-kata ketika sedang emosi. Takut salah berucap
Orang yang sedang mengepalkan tangan terlihat menakutkan Dar, hahaha
Waaah setuju banget. Kata kata tuh sakral, apalagi kata yg menyakitkan. Intinya memang harus selalu postif dr kata maup7n oerbuatan
Kata-kata juga membentuk kita. Karena imej kita tentang diri sendiri selalu bagus, kata-kata harus disesuaikan ya Irham 🙂
setujuu, kata2 memang berefk pada alam bawah sadar, dan membentuk tindakan, apalagi kl diulang2i ya mbak. nulsi LPJ akhir tahun aja, randomnya oke begini mbak, haha
Kalimat-kalimat yang kita terima semasa kecil, sekarang yang memberi dasar bentukan kita ya Mbak Prita
Iyaa bener banget mbaa..apalagi dengan Anak sendiri. Aku skrg2 ini lagi menghadapi anak yg pertama, kayaknya susah bgt negonya. Lebih baik diam, daripada nyesel berkata kasar saat marah :'(
Menurutku juga gitu Mbak, selagi emosi lebih baik diam. Saat emosi kata-kata susah dikontrol 🙂
Aq lagi belajar untuk menjaga kata2 yang keluar. Kadang kita ga sadar kata2 kita bisa menyakitkan orang lain.
Kata-kata gak sadar itu lah yang sering memicu pertengkaran ya Mbak 🙂
Subhanallah insya Allah mulai belajar menyaring kata uni
Terimakasih banyak masukannya
Sama-sama Mbak Tanti. Senang jika bermanfaat 🙂
Terima kasih sharingnya mba evi, pengingat bgt buat aku yg anaknya udh banyak aja ini. Kadang overwhelmed dan loose control. Tapi Alhamdulillah gk sampe ngatain bodoh sih. 🙂
Aku bisa membayangkan, dengan anak-anak masih kecil dan butuh perhatian penuh, kita yang kehabisan energi mudah sekali meledak. Insya Allah kata-kata selalu terjaga ya Mbak Noe.Amin
Evi, benar sekali kita hrs berhati-hati dgn lisan kita. Pertemanan yg telah ber-tahun2n bisa aja hancur krn lisan yg kita ucapkan menyinggung atau bahkan menyakiti hati seseorang.
Betul banget Bunda. Lisan kita kadang tak berlogika. Kata-kata baik pun Kalau disampaikan dengan kurang tepat, yang menerima akan menangkap maknanya lain ya Bun. Semoga kita selalu terjaga dengan hal demikian. Amin
Yang tidak bisa diulang adalah waktu. Yang tidak bisa dihapus adalah lisan yang terucap. Katanya begitu. So yes, harusnya kita “be carefull” dengan dua hal itu.
Kita akan sering Membaca cerita paku yang ditancapkan ke papan, walaupun pakunya dicabut bekasnya pasti ada. Analoginya pas banget dengan kata-kata yang menyakiti ya Mbak Ratna