Apa konsepmu tentang menikmati sebuah perjalanan? Pertanyaan ini timbul saat menulis tentang Semana Santa – Mengenang Kesedihan Seorang Ibu. Pasalnya sedikit terkejut saat saya menyadari tidak menemukan foto yang diperlukan untuk menunjang suatu paragraf. Memang ada beberapa foto tapi kurang memadai dari sudut fragmen cerita. Kenapa begitu sih? Mengapa saat itu saya malas sekali? Mestinya saya memotret ini dan itu. Dan berbagai pertanyaan liar lain berloncatan tanpa henti. Buntut-buntutnya tentu saja hati jadi kesal. Masih bagus tak memaki “bodoh” diri sendiri.
Baca ceritanya : Semana Santa: Mengenang Kesedihan Seorang Ibu
Tapi sudah lah. Bukan kah tidak memotret saya ganti dengan menikmati momen lebih intens? Bukan kah dengan mengurangi waktu memotret, waktu berbincang dengan penduduk lokal jadi lebih banyak? Dan yang paling penting bukan kah dengan mengurangi memotret bahagia saya tak berkurang? Penghiburan diri yang tepat menghasilkan efek yang tepat pula. Tensi emosi langsung turun dua digit. Kalau tidak bisa merusak mood seharian.
Awalnya saya pikir sudah selesai. Absennya beberapa foto yang seharusnya ada hari ini kembali terulang. Saya sedang membuat draft perjalanan ke Myanmar. Di tengah asik merangkai kata tiba-tiba melintas pertanyaan: “Ada gak ya foto untuk cerita ini?” Cepat-cepat lah awak membuka folder yang dimaksud.
Tahu kah saudara-saudara? Ternyata tidak ada!
Panggilah saya si travel blogger yang mudah terdistraksi. Mood menulis tentang Myanmar langsung meluncur, seperti curah salju kena bom di Himalaya. Kecewa pada diri sendiri itu sampai ke tahap harus dihibur oleh secangkir Jalpa Gold Coffee. Untung lah kopi organik yang diaku tumbuh di Pegunungan Himalaya dan saya beli untuk oleh-oleh bagi diri sendiri pada perjalanan dari Nepal masih tersedia. Dengan meminggirkan segala centeng perenang di atas meja makan, secangkir kopi organik, selembar stroop wafels oleh-oleh dari anak bujang, saya merenung. Mempertanyakan keteledoran. Melihat ke belakang dengan membandingkan saya hari ini. Lalu tak terhindarkan jika kemudian lahir pertanyaan lebih aneh: Berapa banyak kesempatan baik terlewat dalam hidup saya karena keteledoran semacam ini?
Caramel dari stroop wafels dengan cepat berenang ke dalam darah, menjalar ke otak yang memberi efek menyenangkan. Alaih-alih merenggut pintu hati saya (yang bening) langsung membuka. Ini perkara kecil tak perlu membuat kesal. Kalau ingin mempunyai koleksi foto lengkap lain kali jangan lupa memotret dari bebagai sudut. Memotret lah! Kalau perlu sampai muntah. Jangan pernah dengarkan nasihat turis tak dikenal yang mengatakan menikmati perjalanan itu cukup dengan mendatangi, memperhatikan seksama, selesai itu pulang. Siapa yang tahu bahwa si turis sebenarnya tak tahu apa yang harus difoto? Planga-plongo diartikan sebagai memperhatikan dengan seksama? Galau diartikan sebagai momen terbaik dengan diri sendiri?
Berhubung ini hari Minggu, hari kemerdekaan, setelah menghabiskan wafel manis, menghirup seteguk lagi Jalpa Gold Coffee, saya beralih ke kamar. Ke lemari buku kecil di pojokan, mencari Selimut Debu Agustinus Wibowo. Sudah berapa tahun saya meletakan di lemari tanpa menyelesaikannya? Saking lamanya bab-bab pertama sampai lupa. Mau tak mau kembali saya baca dari awal, bab persiapan si Penulis Titik Nol itu sebelum masuk Afghanistan. Mengikuti tuturnya mendatangi nara sumber satu persatu sampai hampir dikerjai pria-pria homo, perjalanan ke Myanmar dan foto tak lengkap, menguap begitu saja di udara. Gaya Agustinus Wibowo yang menulis begitu detail mempertautkan dengan sumber kekesalan awal saya tadi.
Saya mestinya juga seperti itu. Memotret mestinya tak sekedar memencet shutter, bergerak ke sana-kemari, dan dapat foto dari berbagai sudut. Sebelum memotret seharusnya saya punya konsep di kepala. Seperti Agustinus, sebelum ditumpahkan ke layar monitor, cerita sudah khatam dalam kepala. Kalau tidak saya akan seperti ini terus. Tak beranjak keterampilannya. Tak teliti juga. Besok sebelum memotret seharusnya riset dulu ya. Noted!
Sekarang saya kembali ke komputer. Alih-alih menyelesaikan cerita yang tertunda eh malah curhat di Blog Cakrawala ini. Memang random sangat lah saya ini. Eh mestinya juga tak mengapa. Bukan curhat di blog juga kesempatan untuk merenungkan? Sekarang saya merenungkan tentang ini: Apakah dengan banyak memotret berarti kurang menikmati perjalanan? Terpaksa mempertegas karena kawan hidup saya pernah komplain terhadap kebiasaan memotret dari berbagai sudut lalu terpisah dari rombongan.
Ah rasanya tidak. Sebaliknya malah. Dengan memotret saya justru memperhatikan destinasi lebih seksama. Karena ceritanya sudah ada di kepala, begitu di lapangan saya tinggal mengeksekusi.
Cuma syaratnya memang harus dipenuhi: Tidak asal memotret. Jangan membuat orang lain menunggu jika jalan-jalan dengan group.
Ada juga yang punya kisah seperti saya? Sharing yuuk..
7 comments
Menurutku keduanya sangat penting,ya.
Selain buat kenangan berlibur di tempat yang pernah kita datangi juga foto dan cerita perjalanan berlibur kita tulis untuk menginspirasi pembaca datang ke lokasi yang pernah kita datangi.
Kita sepakat Mas Himawan. Pergi ke suatu tempat, terutama bagi blogger, tanpa foto apa lah artinya itu perjalanan ya. Karena tulisan kita di blog butuh foto untuk menunjang 🙂
Iya,kak Evi … cerita sebuah perjalanan tanpa adanya bukti dokumentasi foto, ntar dikirannya kita lagi berhalusinasi semata … hehehe
Uniii. Tos dulu dong! Aku kira cuma aku yg merasakan kaya gt, kadang ngetrip kemana tp foto2nya dikit trus nesu2 sendiri. Sepakat bgt pokoknya, salah satu cara menikmati perjalanan adalah dg memotret dan menceritakan perjalanan kita kepada orang lain.. Tp bukan syombong dan riyaa kok Uni
Btw, ku suka kalimat ini nih, “Berapa banyak kesempatan baik terlewat dalam hidup saya karena keteledoran semacam ini?”
Iya Ella. Kita menceritakan pengalaman perjalanan kita bukan untuk berniat sombong. Selain merekam untuk kenangan kita sendiri, siapa tahu orang lain terinspirasi ya. Terima kasih Ella
Kadang sih ngerasa jalan jalan doang ah, nggak usah foto foto banyak. (alibi nggak punya kamera)
Dalam perjalanan kadang memang banyak alasan untuk tidak melakukan sesuatu ya Mas. Padahal itu modal kita sebagai blogger, mengumpulkan data maupun foto. Membuat dengan ponsel pun sebenarnya sudah lebih dari cukup 🙂