Memasuki pelabuhan Bakauheni, entah dari selat sunda atau jalan trans sumatera dari arah Bandar Lampung, para pejalan akan selalu disambut oleh sebuah Menara Siger yang jadi ikon Lampung. Bangunan bercat kuning berbentuk mahkota ini, berdiri dengan gagah di atas Bukit Bakaheuni dengan ketinggian 110 meter dari atas permukaan laut. Saat Panorama Nusantara, kapal Roro yang saya tumpangi dari Merak mendekati dermaga, menara siger berkilau dalam terpaan matahari sore. Sebagai pintu masuk ke Lampung dan titik nol Sumatera dari bagian Selatan, Bakauheni dan menara siger ini seakan menyapa bahwa kita sedang memasuki suatu kawasan yang di dalamnya hidup masyarakat yang masih terikat pada tradisi nenek moyang mereka yang kental.
Menara Siger Ikon Lampung Mahkota Wanita
Menara Siger yang jadi Ikon Lampung ini terlihat di mana-mana. Dikenakan oleh perempuan lampung dalam setiap upacara adat. Dan kalau kita menjelajahi seluruh kawasan di Lampung, siger ini dengan mudah ditemui di semua tempat. Diatas tugu di alun-alun kota, menempel pada dinding bangunan rumah pribadi, ruko dan gedung-gedung umum seperti sekolah dan kantor pemerintahan. Saya perhatikan siger juga di letakan di tempat tertinggi dari atap rumah. Kalau begitu boleh kah kita katakan bahwa Lampung adalah sebuah Propinsi dengan aura feminisme?
- Baca di sini tentang Kopi Lampung: Menikmati Kopi Liwa di Pasar Liwa
Mahkota adalah perlambang kekuasaan dan kehormatan. Di Lampung pemakaian praktisnya memang oleh perempuan. Ini mengingatkan saya pada adat istiadat dari suku sendiri, Minangkabau. Di sana garis keturunan di tarik dari ibu, sementara di Lampung dari ayah. Bila mana siger yang dikenakan wanita digunakan sebagai perlambang adat, mungkinkah antara adat minangkabau dan Lampung saling terkait? Setidaknya suatu saat, jauh di masa lalu, pernah digunakan oleh nenek moyang yang sama?
Menara Siger Dan Dalam Keragaman Budaya
Pulau Sumatera yang diisi oleh bermacam adat, suku dan propinsi yang berbeda namun di rajut jadi satu kesatuan oleh Bukit Barisan. Banyak cerita-cerita tradisi diabadikan lewat legenda. Gunung-gunung dan bukit-bukit yang tumbuh di sepanjang Bukit Barisan merupakan sumber cerita, semisal asal nenek moyang, asal muasal satu suku, nama tempat dan tumbuhan.
- Hangout asyik di Lampung rekomendari tempat ini: Cafe de’ Rosse Bandar Lampung
Nah berdasarkan fakta iini, bukan tidak mungkin bahwa suatu ketika suku Lampung dan Minangkabau cuma punya satu cerita: Satu nenek moyang.
Salam dari Lampung,
Evi
24 comments
Ah…belum kesampaian ke Lampung nih…padahal ada sepupu yg disana & berkali-kali ngajak…
Kapan-kapan diterima ajakannya Mbak Mechta..Lumayan ganti-ganti suasana 🙂
oh namanya menara siger ya, habis setiap pulang slalu lihat dari kapal emang mencolok banget di atas bukit 🙂
Betul 🙂
Adat dan budaya ngak bisa dipisahkan, karena itu adalah warisan nenek moyang yach…indah bangettttt
Setuju Mas Budi..Budaya dan adat adalah pedoman hidup yang akan mengayakan batin kita sebagai penduduk lokal 🙂
wow … menaranya cantik sekali ya mbak … kagum aku
wah .. sekarang lagi jalan jalan di Lampung ya mbak, banyak oleh oleh cerita dan foto foto dong pastinya 🙂
met tahun baru 🙂
Sekarang sudah pulang Mb Ely. Menara ini emang lumayan cantik, anggaran saja milyaran rupiah kok 🙂
Uni, kalau boleh saya menyampaikan bahwa “aura feminisme” itu kemungkinan lebih melambangkan sebuah penghormatan kepada kaum perempuan (Ibu) ? Seperti di kampung kita Sumbar 🙂
Saya pikir juga begitu P Ded, semacam limpapeh rumah gadang, yang kepentingannya diletakan sebagai ujung tombak dalam segala perkara kaum. Tapi kalau soal mengambil keputusan mah tetap saja di tangan para mamak (kaum lelaki) 🙂 Sepertinya yg terjadi di Lampung juga begitu 🙂
keren abis pic nya bunda………..
Terima kasih atas pujiannya Faiz 🙂
Saya sering melihat mahkota ini, tapi baru tahu kalau namanya Siger.
Menarik sekali ya mencoba memahami apa yang terjadi di masa lampau dan keterkaitannya yang sangat nyata antara budaya Minang dan Lampung dari sudut penghargaannya terhadap wanita..
Betul Mbak Dani, kalau saja ilmuwan peneliti di negara kita dapat penghargaan layak seperti rekan mereka di luar sono, aku kira, banyak ilmuwan sosial kita akan buka lapak. Dengan begitu banyaknya budaya dan berbagai cara hidup yg dilakukan bangsa kita, lapangan penelitian yg bisa dilakukan sangat berlimpah…
Menaranya Unik, Uni…
Habis dari Lampung, mau kemana?
Habis dari Lampung pulang kandang lagi Mas Falz hehehe..Menaranya emang unik, sebagai landmark kota sangat eye catching 🙂
wah, inet lagi lelet nih Uni, nggak keluar2 slidenya,
siger itu memang dijadikan semacam simbol di Lampung, ya.. dan ada juga motto di tiap kabupaten pakai bahasa lokal, Lamppura Sikep, atau Lampung wawai, yang artinya cantik atau baik…
saya juga pengantenan pakai siger Ni
Wah kapan2 aku mesti belajar filosofi hidup org lampung padamu Mb Monda. Jd orang tua berbesan jg dng orang lampung ya?
Saya pernah ke Lampung (Tanjungkarang-Telukbetung-Metro) sekitar tahun 1992 an…lupa apakah sudah ada menara ini ya.
Menaranya tampak indah…..dan malunya, saya belum pernah menyeberang ke Lampung menggunakan kapal Roro.
Tahun 92 sepertinya belum ada mb Ratna. Hehe..nail roro itu kan dlm rangka penghematan. Emang lbh nyaman kalo l lampung naik pesawat 😉
Tampaknya selalu ada elemen yang menghubungkan karakter antar budaya, apalagi Lampung dengan Palembang. Lho Uni masih dalam rangka berlibur akhir tahun di swarnadwipa? Salam
Ya Mbak Prih, kita tampaknya keturunan segerombalan pengungsi dari suati tempat di benua Asia. Coba perhatikam budaya Thailand, amat mirip dengan budaya2 Melayu yg ada di nusantara 🙂
Bentuk mahkotanya agak mirip juga dengan mahkota yang dipergunakan di kesultanan Palembang ya mbak 🙂
Bener yang mbak bilang, bisa jadi ya memang masih ada relasi antara nenek moyangnya 🙂
Kalau balik ke pelajaran SMP kita si kulit sawo matang kayaknya emang satu nenek moyang Jeng Lissa, proto melayu dan melayu muda kalau gak salah. Makanya pakaian adat dan cerita2 rakyat punya kemiripan satu sama lain 🙂