Ketika berada di kampung nelayan Kuala Stabas di Krui – Lampung Barat kemarin, pagi-pagi kami sudah turun ke dermaga. Mengamati aktivitas nelayan. Menghirup aroma laut yang amis tapi hangat. Nah di sana saya juga menemukan sekelompok anak-anak sedang main kelereng. Walau masih pagi dan kampung itu disiram hujan sejak malam, tak mengurangi derai gelak mereka saat adu kepandaian diatas tanah berpasir. Saya yang sudah lupa bagaimana aturan main kelereng sampai perlu mengamati dari atas batu yang tak jauh dari situ. Mengumpulkan ingatan, memahami bagaimana cara main gundu di masa lalu. Tentu saja tak lupa menceritakan kebanggaan kepada anggota rombongan bahwa saya juga pernah memainkan permainan itu.
- Nonton tentang: Video Permainan Tradisional di sini
” Kalah mulu dong…” Ada yang tega nyeletuk seperti itu…Si sulung. Adiknya sampai tertawa keras sekali.
Keceriaan Main Kelereng
Tadinya kupikir permainan gundu sudah punah dari muka bumi. Namun anak-anak Kuala Stabas masih memainkannya dengan ahli. Taruhanya aneka kelereng kaca aneka warna. Warna-warna itu muncul dari dalam kelereng yang tampak seperti irisan belimbing.
Keceriaan mereka membuatku mengingat sebuah kisah bahwa semua kanak-kanak datang dari surga. Sesampai di bumipun mereka tak kehilangan kebiasaan masyarakat dari surga yaitu tertawa. Mengingat lingkungan mereka yang tampak serba muram, diam-diam aku terharu. Pelan-pelan hidup akan mengambil tawa itu dan memaksa mereka menghadapi realitas orang dewasa. Tapi semoga tidak terlalu cepat terjadi.
Sepertinya aturan main kelereng tidak banyak berubah. Melemparkan gacoan ke dalam lingkaran secara berutan lalu menembak kelereng lain dengan gacoan tersebut. Cara bermain kelereng lengkap bisa dilihat disini.
Setelah puas main kelereng beberapa anak berhamburan ke dalam laut. Dua orang berenang kejar-kejaran seperti ikan. Teman yang lain yang menggunakan tali penambat perahu sebagai jembatan untuk sampai di geladak tiga perahu yang sedang berbaris panjang. Sesampai ditengah mereka juga meloncat ke laut. Kepala hitam yang hilang timbul itu seperti buntut ikan lumba-lumba di kejauhan.
Anak-anak Alam yang Bahagia
Tampaknya di Krui belum ada mall. Dan anak-anak ini tampaknya juga tidak menghabiskan waktu libur di depan play station. Kalau lah ada berkah dari kampung nelayan yang tampak miskin ini, itu adalah ketertinggalan kondisi lingkungan itu sendiri. Interaksi dengan sesama tampak begitu intens. Ruang bermain yang disediakan alam tidak memungkinkan gemerlap lampu warna-warni menipu pandangan seperti yang dialami rekan-rekan mereka di kota besar. Disini mereka bebas bergerak, melompat, berenang dan tertawa sekencang-kencangnya tanpa ada yang merasa terganggu. Mungkin karena energi mereka tersalurkan sebagaimana mestinya, aku tidak melihat ada yang overweight.
- Baca tentang: Menangguk Ikan di sini
Mataku juga mencari-cari anak perempuan. Barang kali ada yang ikut main kelereng atau mandi bersama di laut. Namun tak satupun yang terlihat. Hari masih pagi. Mungkin sedang asyik membantu ibu mengurus rumah tangga.
Sesaat meninggalkan Kuala Stabas aku menengok ke belakang satu kali lagi, kepada anak-anak yang masih asyik di laut. Berharap suatu hari pendidikan akan membawa mereka keluar dari situasi seperti ini. Semoga laut yang membiru dari teluk kuala itu merasuk ke nadi, membentuk karakter mereka yang tangguh namun tidak neko-neko. Doaku untuk kalian semua anak-anak alam.
48 comments
Baca blog bu Evi jadi ingat masa2 kecil dulu. Sore hari setelah pulang madrasah atau pun hari libur, aku dan teman2 sering main kelereng dan permainan tradisional yang lain. Tapi sayang, anak anak sekarang lebih memilih untuk bermain PS ataupun nntn Tv. Sudah jarang menjumpai anak-anak sekarang bermain kelereng…
wah..mbak evi,
saya malah belum pernah main ke Krui sana… disana banyak laut dan tempat wisata yang masih alami. btw salam kenal ya mbak 🙂
Kalau tinggal di Lampung, pantai2 di Krui itu lumayan cantik Mbak Ratu..Untungnya Lampung ciri khasnya emang pantai berair bening kehijauan bak mutu manikam itu. Di Bandar Lampung juga banyak 🙂
Cerita yang sangat indah tentang dunia kanak-kanak, Mbak Evi. Aku juga suka memainkan dan mengoleksi bola kaca dengan buah belimbing di dalamnya ini sewaktu kecil. Ada yang merah,kuning,jingga, merah, biru, hijau,ungu,warna-warni. Ukurannya juga ada yang sedang, kecil dan besar. Namun yang lebih indah adalah kisah-kisah masa kanak-kanak yang menyertainya dan tak terlupakan. Mengenang indahnya masa kanak-kanak, membuat kita seakan menikmati kembali keindahannya..
Waktu kanak-kanak kita menganggap bahwa masa itu akan berlangsung selamanya. Kita pengen cepat dewasa tapi tak kunjung tiba. Sekarang setelah dewasa kita merasa betapa waktu itu cepat banget berlalu. Dalam hati kecil setiap kita ingin kembali ke masa-masa itu, menikmati keindahan yang terjadi di dalamnya. Aku kadang berhayal andai saja mesin waktu itu ada dan mensetting ulang beberapa hal disana, akan seperti apa jadinya masa yang kita lalui sekarang. Begitu lah mbak sedang senewen pagi-pagi ini hahaha…
Permainan yang asyik buat ditonton, meski waktu kecil saya gak pernah main kelereng hahaha D
Btw, saya juga pernah lewat ke Krui. Pantai Lampung Barat-nya kereeen 😀
Berarti elfarizi sdh hidup di kota modern sejak kecil hehe…
Pantai di Lambar emang keren dan relatif kondisiinya msh aslli
Dulu juga aku seneng maen kelereng, mbak, walopun selalu kalah sama temen-temen cowok, hehe..
Iya Jeng, anak perempuan jarang yg pandai main kelereng. Mungkin karena permainan tersebut telah dikondisikan untuk anak laki-laki kali yah..?
Ingat main gundu alias kelereng mengingatkan akan adu kelereng yang disebut Jirak di kampungku Solo Mbak? Kelereng di taruh di atas garis saling silang membentuk salib. Paling ujung bawah dikasih lingkaran, disebut bool=anus dan diisi kumpulan kelereng, misalnya 15 kelereng.
Sedangkan tepat di atas garis yang vertikal di susun kelereng satu-satu dengan jarak 10 cm. Saat peserta pertama melempar kelereng yang digenggamnya dari kejauhan dan mengenai salah satu butir kelereng di garis itu, otomatis kelereng di bawahnya yang menuju ke ekor menjadi miliknya.
Sayang permainan kelereng ala Jirak sekarang sudah tidak ada lagi di kampungku. Sudah dilupakan anak masa kini.
Waduh ini aturan mainnya agal beda dng yg biasa. Aku pikir faktor hilangnya permainan ini salah satunya krn kelereng juga susah didapat di warung2 mbak. Sayang yah, padahall keterampilan main kelereng sepertinya juga bisa melatih ketrampilan motorik anak
saya dulu mainan kelereng mbak, tetapi seringnya kalah, hehehe
Gak aneh Mas Jar, kurus sih hahaha…
anak anak memang bagus ya mbak kalau sering main di luar, bikin sehat dan tentu saja nggak jadi gemukkarena bergerak bebas tidak terkekang main di dalam rumah kayak play station itu
kalau di kampungku sana disebut setin mbak kelerengnya 🙂
Betul Mbak El, bermain di luar dan bergerak lebih banyak, akan lebih menyehatkan bagi jiwa raga mereka. Iya bahasa jawanya kelereng Sten yah..:)
Main kelereng,,ya itulah permainan asli anak negeri. Bermain sambil berolahraga yang akan membentuk jiwa yg tangguh dalam kebersamaan yg menyatu dengan alam. semoga permainan itu tidak hilang di makan jaman oleh game2 yg membuat anak menjadi malas,,,,,,,,salam kenal ya bu.
Mas gimana cara manggilmu ya? Aku jg berharap anak2 modern menyisakan sebuah ruang bagi permainan tradisional disamping permainan moderen. Tapi itu tak lepas dr bimbingan orang tua dan guru2
saya dulu juga pernah main gundu…tapi engga bisa…
cara nyentil kelerengnya biar tepat gimana sih?
Cari anak2 sekitar saja Tina, ajakin maem. Latihan. Mereka pasti senang dpt temam cantik sprt dirimu 🙂
Waktu kecil, suka main, tetapi kalah mulu … 🙁
Kayaknya cuma Bli Budi yg jago main kelereng di waktu kecil. Apa perlu balik lg kesana Mas Har, menebus kekalahan …
Entah sudah tahun apa saya tidak main kelereng lagi, lha kan sudah gede.. 🙂
Kalo sdh gede gundunya beda mas Gie..
yu,, mari kita main kelereng -__-
Mari kita taruhan 🙂
Mbak Eviiii, apa kabar?
Maaf baru berkunjung lagi…dan ternyata ada cerita tentang anak-anak Kuala Stabas yang bermain kelereng.
Waktu kecil dulu, saya sebatas jadi pemerhati permainan ini mbak, karena dua orang adik saya laki-laki semua, jadilah saya juga betah ngeliatin mereka bermain bola kaca aneka warna ini 🙂
Kabar baik Mb Bintang, alhamdulillah. Everything ok jg kan dengan dirimu? I hope so..:)
Kelereng ??
Warna dari bentuk seperti irisan belimbing …
Bener sekali bu … Bu Evi pandai sekali mendeskripsikan mainan klasik ini …
saya juga ingat jaman dulu …
Dan celakanya … saya selalu kalah kalau main kelereng …
nomer tangan saya ndak cocok dengan kelereng-kelereng itu …
hehehe (alasan)
salam saya Bu Evi
Kelerengnya S terus tangannya XL yah Om? Ukuran baju kaliiii bukan ngadu kelereng haha. Makasih atas pujiannya Om Nanang. It’s mean alot 🙂
Mba Evi aku kasih Pantun jenaka nih, yang aku dapet saat masih SD dahulu, tapi gak janji salah apa bener…
Pohon manggis ditepi rawa
Tempat orang mengadu banteng..
nenek menangis sambil tertawa..
melihat kakek bermain kelereng..
Terima kasih Mba Evi…
Hahahaha..Kayaknya benar Mas Choirun..Tapi kalaupun salah, biarin deh..Membayangkan kakek main kelereng, gak cuma nenek yg akan tertawa sampai nangis, aku juga..
hehe bisaan Mba Evi yang satu ini…
yang pinter sang pembuat pantun jenaka itu..
Wah ternyata saat SD ku aku memperhhatikan pelajaran, terbukti masih ingat Mba…
Calon guru yg baik kalau gitu Mas Choirun. Guru BI pasti senang pada dirimu 🙂
daridulu gak pernah bisa main kelereng bun 🙂
Anak perempuan emang gak wajib jago main gundu Mbak Lid hehehe…
Maap Mba, maksud dari kalimat “Menatap ke Muka. Dimana masa depanku?” di salah satu gambar yang di atas, apa ya? hehe… koq saya merasa kalau kalimat itu bermakna sindiran? Atau mungkin saya yang salah memaknai? 🙂
Itu kalimat empati, bukan sindiran Mas Ipras..Mereka tak perlu disindir 🙂
he he kalau di kampungku disebut sten mbak evi. permainan ini belum punah di samping layang-layang. tetapi permainan semasa kecil ku sudah banyak yang hilang. padahal permainan seperti sten, gobak sodor, dinoboy, jamuran dll sebuah wahana yang mencerdas EQ. hem memandang anak memang seperti memandang penghuni surga. selalu bahagia, tak ada rasa iri berkumpul tak membedakan kasta. sungguh indah sayang kadang sifat ini terengut di usia dewasa biologis kita.
Permainan tradisional anak2 Indonesia, sepertinya suatu saat akan punah Mbak Min, kecuali kita melakukan sesuatu untuknya..Bersaing dengan permainan moderen memang tak mudah 🙂
Bukan nyombong mbak…kalau main kelereng saya jagoooo heeee, sering menang
Percayaaa Bli
…percayaaaa…hehe..
dari dulu sampai sekarang saya selalu kalah dalam banyak permainan, apalagi main kelereng dan lari-larian, sudah dapat dipastikan saya yang menjadi tumbalnya -___-
Haha..Menyenangkan orang lain itu amal Mb Han, even jd tumbal
permainan yang mengasyikkan, waktu kecil dulu saya tak pernah menang kalau main kelereng sama teman-teman, yang penting tetap gembira
Walau rada2 kecewa tapi kalo gak ikut main gimana gitu ya Mas hehe.
Wah jadi ketahuan tuh mas… mas Narno paling kalahan jika bermain kelereng…
sama aku juga pernah sampe menangis pas main kalah… Maaf lancang Mas,..
Jadi ingat dulu saya tukang ngerecokin saudara2 saya yg kesemuanya laki2 saat sedang main kelereng. Bagaimana tidak, saya bermain payah alakadarnya, jadi biang onar. Haha…
Iya, sekarang permainan anak2 sdh kalah dg game yg cenderung mengurangi dunia ceria bermain di alam…
Kayaknya kita dulu sama Mbak Lia, mau ikut2an saja mainan saudaranya..Kayaknya dikampungku dulu anak lelaki mainnya nyampur saja deh sama anak perempuan..Kecuali main merdeka, kalau main gundu bareng-bareng kayaknya..Tapi asyik ya Mbak, walau kalah mulu cukup menyakitkan juga kehilangan gundu, tapi gak kapok ikut main hehehe…