Warga Jakarta, terutama yang belum punya akses terhadap kekayaan kota harus berotak kanan, sebab kalau tidak akan frustrasi memahami realita seperti ini. Mungkin ini disebut keadilan sosial bahwa dimuka gedung pencakar langit, di tepi jalan protokol, pedagang kecil tak dilarang mengais remeh-remeh rupiah.
Dengan jembatan ini Jakarta boleh lah mengklain diri sebagai megapolitan.
Apakah penduduk Jakarta bisa disebut sejahtera dengan banyaknya orang yang mampu beli mobil pribadi? Tapi apa juga bisa disebut sejahtera jika untuk menikmati sejumput kenyamanan tersebut harus dibayar dengan stress karena jalan-jalan macet tiap hari?
Entah lah. Ironi memang milik Jakarta.