Sehari menjelang Imlek, aku jalan-jalan ke Glodok. Pecinan terbesar di Jakarta dan masuk kawasan kota tua Batavia ini riuh rendah dalam terik matahari yang menggigit. Penjual, pembeli maupun mereka yang cuci mata sepertiku berhimpit-himpit memperebutkan ruang. Betapa berarti kalau saja bertubuh lebih tinggi. Tidak seperti sekarang, berkali-kali suami mencariku yang terbenam di keramain karena asyik saja memainkan camera pocket sehingga gak nyadar terbawa arus orang. Saking jengkelnya cameranya diambil dan dikantongi. Dikembalikan lagi ketika sudah masuk ke pertokoan dimana arus manusia sedikit lengang.
Glodok yang biasanya kelabu, menjelang imlek berubah jadi lautan merah. Dimana-mana tampak orang menjual angpao, lampion, hiasan gantung berbentuk buah seperti nanas dan apel serta bunga-bunga segar dari plastik. Kota yang tadinya sebagai tempat pembuangan etnis cina di jaman belanda itu terlihat seperti musim semi. Toko manisan dan kue padat oleh pembeli. Di emperan tak ketinggalan pedagang kaki lima ikut berebut rejeki. Macam-macam dagangan mereka. Selain yang saya sebutkan diatas ada juga kembang api, baju anak-anak Cheongsam (untuk wanita) maupun Changsan (untuk lelaki). Selain berwarna merah ada juga kuning gading, coklat yang kesemuanya berhias pita-pita emas. Yang tak terlihat cuma petasan.
Glodok punya sejarah kelam. Pembantaian ribuan etnis Cina oleh Belanda pada tahun 1740 dan mayat mereka sebagian dibuang ke Kali Angke yang melintas dimukanya selalu disebut setiap orang menulis sejarah kota ini. Konon nama kali Angke sendiri berasal dari gelimpangan bangkai manusia dan airnya memerah oleh darah. Itu dalam rangka memadamkan pemberontakan etnis ini, tanpa pandang bulu dewasa, perempuan dan anak-anak di bantai oleh tentara Belanda.
Namun Glodok masa kini adalah mesin ekonomi dimana milyaran rupiah uang berputar dengan cepat disini. Tak heran sekalipun menurutku Pasar Glodok sangat sembrawut sebagai tempat belanja, untuk sebagian besar etnis Cina Glodok tetap pilihan nomor satu untuk belanja barang elektronik maupun obat tradisional Cina. Toko-toko obat yang sebagain besar di labeli sebagai Apotik Rakyat menjual obat apapun. Dari obat Cancer sampai patah tulang. Dari vitamin penyubur rambut sampai pengental sperma. Yang perlu diketahui adalah jenis penyakit yang Anda derita. Setelah itu konsultasikan kepada pemilik toko yang juga merangkap pelayan. Insya Allah mereka tahu obat apa yang cocok untuk digunakan. Dan sesaat menjelang perayaan tahun baru Cina, pasar ini sesak oleh mereka yang berburu berbagai pernik yang digunakan untuk memeriahkan perayaan.
Yang menonjol dari perayaan imlek tak hanya warna merah, tapi juga kue keranjang atau Tiam Pan (kue manis). Sekalipun kue yang terbuat dari tepung ketan dan gula aren ini tak digunakan hanya pada saat Imlek, namun kehadirannya yang meriah di pasar terlihat menjelang perayaan ini. Tak hanya di jual di toko tapi terdapat juga mobil-mobil bak terbuka yang berdiri di tepi jalan. Bagi masyarakat Tionghoa, makanan selain sebagai penyehat tubuh, namun segala sesuatu yang hendak memasuki tubuh haruslah di hormati. Mungkin karena itu tak terlihat Tiam Pan di gelar di emperen toko, tempat orang banyak lalu lalang. Meja-meja tempat Tiam Pan di jajakan diletakan sedikitnya lebih tinggi dari lutut. Mungkin untuk menghilangkan kesan bahwa kedudukan kue ini tak selevel dengan kaki.
Salam,
–Evi
70 comments
Sayangnya, Glodok masih tidak seperti sebelum tahun 1997-an dulu. Lihat saja, Orion Plaza, Pinangsia Plaza atau ini yang paling parah … Glodok Plaza. Tokonya banyak, tetapi tidak ada yang jualan 🙁
Mungkin sulit bagi para korban menyembuhkan trauma Mas Har. Atau mungkin juga lingkungannya sdh tak memungkinkan seperti kesulitan lahan parkir. Sementara juga banyak mall baru bermunculan di ibu kota 🙂
Aku belum pernah ke Glodok menjelang Imlek. Pernah sih diajakin teman, tapi belum jadi-jadi. Aku termasuk jarang ke sana. Kesanku memang semrawut. Tapi pernah suatu kali diajak makan di sana sama teman. Hehe, enak juga. Banyak yg jual manisan dan kue2 juga
Untuk cari makanan aneh-aneh dan sedikit ekstrim seperti sate biawak, kayaknya disini juga ada deh Mbak Kris 🙂
Uni Evi, cantik2nya gambarnya, merah meriah
proses panjang akluturasi budaya ya, saluuut Uni, Salam
Betul sekali Mbak Prih. Pelan-pelan berevolusi sempai terbentuk budaya cina peranakan disini 🙂
Saya belum pernah ke Glodok di saat Imlek, Jeng. Gak kebayang riuhnya 🙂
Tapi seru ya ngeliat pernak-pernik dan terutama…ehm…jajanannya 😳 😀
Begitulah Jeng Choco..Meriah dan ribut 🙂
merahnya merah… meriah ya Ni…
untung aja kemacetan di sekitar situ sudah berkurang lagi,
kemarin2 terpaksa muter arah deh… susah lewatnya
soal nama Angke itu memang betul terjadi dari sejarah yang kelam,
di pameran akulturasi Cina Indonesia bisa dilihat sejarahnya
http://mondasiregar.wordpress.com/2011/05/08/pameran-akulturasi-cina-indonesia-dan-pameran-topeng-mexico/
ada keterangannya di foto bawah ni
ang berarti darah, ke dari bangkai
peristiwa itu terjadi tahun 1740, karena penduduk Tionghoa dibantai Belanda
Saya juga pernah membaca dari Intisari Mbak Mon bahwa kali Angke itu asal katanya Bangke 🙁
Terima kasih atas tambahan informasinya Mbak Mon. Nanti aku berkunjung ke sana 🙂
Merahnya ngalahin iklan rokok Mbak Mon..Lewat Glodok bersepi-sepi paling pas tentu pada saat imlek karena pasti semua toko tutup aau sehari sesudahnya..
seru nih mbak~
cuma ngejreng yaa, merah merah dimana mana
Memang Mbak Maya..Atmosfir kegembiraan terasa sekali dalam warna ngejreng itu ..
Kalau saja saya memenuhi ajakan suami, pasti kita ketemu ya Mbak, di Glodog. 😀
Suami ngajak hunting foto ke sana, tapi sayanya capek.. 🙁
Mbak Nuning sedang hamil kan? Wah Bumil berkunjung ke Glodok menjelang Imlek akan bikin mual Mbak. Untung gak kesana 🙂
Oh jadi untuk membedakan antara kue iitu denga kue yang lain menempatkannya diatas lutut.. Wah sebuah penghormatan untuk sebuah karya..
masa ngim .. .. ???
Bukan untuk membedakan dengan kue lain Mas, lebih tepat menghormati makanan yang akan masuk ke tubuh kita 🙂
Haduh, belum pernah ke Glodok. Ramai bana…
Hahaha…Iyo bana Uni..Glodok cantik saat mo imlek doang..Hari2 biasa mah, kalau gak sengaja menelusuri sejarahnya, dia kelabu saja kok
cantik hasil potretannya, he he mbak evi blogger kayak wartawan profesional saja. demi berita yang ingin dibagikan pada pembaca berani menerjang maut di medan laga. salut deh menerjang lautan manusia demi untuk kami. terima kasih sahabat tuk hadiah terindah ini.
Hehehe..Gak gitu2 amat sih Mb Min..Sekarang karena anak2 sdh gede, kegiatan rumah tangga berkurang..Kerjanya yah..lebih sering jalan membuntuti suami. Nah mumpung sudah pergi sekalian saja menyalurkan bakat terpendam. Makasih ya pujiannya. Jadi hangat deh ini ati 🙂
Aaaarghh…selalu menikmati foto2 Ibu di sini *mupeng*
Hehehe..makasih Mb Orin 🙂
ngeri mbak baca yg soal pembantain kaum etnis cina dan mayatnya dibuang sebagian ke sungai angke *begidik*
fotonya cerah banget mbak, seneng melihatnya, jadi kayak di china town
Herannya Mbak El, tak banyak orang Tionghoa Indonesia sendiri yg tahu peristiwa ini..Kecuali mereka mencari, sepertinya tak banyak buku sejarah yang menuliskan pembantaian biadab ini..
Terima kasih Mb El, merah kalau sudah masuk lensa jangan dikate deh..
wow, glodok merah menyala….
kayak dalam dunia imajinasi ya…
Memang dengan warna merah itu kita bisa sedikit berimajinasi Pak Akhmad 🙂
salut memang kepada saudara kita keturunan tionghoa
dimana mana selalu saja ada komplek pecinan dengan budaya yangtak pernah mereka tinggalkan…
Dengan etos kerja keras mereka juga punya ikatan persaudaraan yg kuat Mas Eko..Sesuatu yg perlu kita tiru menurutku 🙂
cerita glodok serem juga ya buk.. hmm, berbanding terbalik dengan apa yang terjadi saat ini.. tapi saya setuju, imlek itu bikin suasana jadi lebih meriah, soalnya warna merah menghiasi.. kemaren pas malam imlek, tepat jam 12 malam, tetangga-tetangga saya yang keturunan cina pada heboh nyalain petasan.. hahaha, serasa ikut imlek juga..
Glodok emang penuh cerita duka. Tak hanya terjadi di masa lalu. Sebelum Eyang kita dilengserkan, Glodok juga membara karena banyak toko2 yg dihancurkan dan di jarah. Konon banyak pula wanita2 Tionghoa yg diperkosa dalam peristiwa itu..
Untunglah sejak Gus Dur jadi presiden, suku Tionghoa tidak lagi takut merayakan lebaran atau tahun baru mereka 🙂
Kue keranjang penampakannya menarik, tapi jujur aku kurang suka, mbak, hehe…
Hihi..aku lucu lho baca yang suami mbak kesel karena mbak sibuk motret terus sampe diumpetin kameranya…. Somehow, aku kalo denger ato baca cerita kayak gini, berasa romantis lho mbak… Beneran deh, buat aku yang romantis itu gak perlu yang gimana2 mbak, cukup dengan hal-hal yang sederhana gini pun udah berasa romantis 😀
Itulah mengapa engkau tampak begitu bahagia Diajeng? Dada yg penuh rasa syukur itu emang peka terhadap improvisasi dari relasi antar manusia. Semoga dirimu bahagia terus dengan Papanya Raja, Raja dan adik2nya yg akan lahir ya. Amin 🙂
Saya menyaksikan glodok di Imlek lewat postingan ini saja deh, Uni…. Belum pernah ke sana sih sebenarnya…
Boleh juga Falz 🙂 Btw, di Makassar ada pecinan juga kah?
mbak evi, pernah merhatiin ngga, sekarang katanya tahun naga air, ada beda pada lampion2 yang dipasang, engga? 🙂
Nah yang ini aku tdk memperhatikan Mas Jar..Lampion2 itu sama semua di mataku..bulat dengan tulisan cina yg artinya pasti selamat tahun baru..serta beberapa hiasan yg biasanya ada di meja sembahyang 🙂
Glodok….sepertinya baru sekali ‘nyasar’ sampai Glodok. Nah kalau aneka kue imlek..asli belum pernah tuh nyobain..kasiiaannn..hehehe
Sesekali di beli Mbak, biar gak penasaran 🙂
kebayang itu ramenya Glodok menjelang imlek
lagian Bu Evi itu niat banget jalanjalan ke Glodok pas rame begitu 😀
beli kue keranjangnya ngga Bu?
Hehehe..Nganterin sodara belanja juga sih Miss..Aku gak beli..Yang dikasih saja ditolakin..Habis makan kue ini enaknya kalau diolah lagi sih..Mesti digoreng tepung dulu atau dikukus baru dikasih kelapa, baru berasa nyes..Aku malas saja ngolahnya 🙂
iya Bu Evi, dirumahku juga gitu harus diolah dulu
kemanisan abisnya kalau dimakan langsung 🙂
waw meriah banget 😀
Absolutely right Han 🙂
saya juga kaget saat kesana sebelum hari imlek mba, kebetulan saya masuk lewat pintu belakang dan keluar lewat pintu depan, nah saat itulah mata saya menjadi sangat cerah, kenapa tidak, semua aksesoris yang terlihat berwarna merah semua, namun saya sungguh senang melihat mereka merayakan tahun barunya, sama senangnya seperti saya merayakan lebaran ^_^
Glodok menjelang Imlek persis seperti pasar-pasar tradisional menjelang lebaran. Sesak, panas dan bau heheheYang menarik, yang menyesaki Glodok ternyata banyak juga Melayu Mas, tak hanya keturunan Tionghoa.
wah seru kayaknya yaaa …
yang menarik, karena di Glodok dijual aneka macam obat, dari vitamin penumbuh rambut hingga pengenatl sperma.
Haaa, baru tahu aku. Kirain cuma tempat belanja elektronik murah doank 😀
Sepertinya, toko2 obat cina kecil di daerah atau toko2 obat umumnya, belanja obat cina disini deh Mas 🙂
merah-merah seperti atribut masa kecil…semua merah…
beli baju cina trus dikucir kecil…luchuuuu
Setelah baju merah, tas penuh angpao pula ya Non..Pasti indah banget masa2 itu 🙂
nah, saya penasaran dengan rasa kue ranjang tersebut, 🙂
enak kah uni?
Lamak kalamai Pikumbuah lageeee…:)
ha ha..geli juga aku membaca Mbak Evi menggambarkan bagaimana terbawa arus dan terbenam di keramaian. Kalau aku mungkin sudah lebih dulu keseret arus dan tenggelamsaking pendeknya he he..
Wah.. penuh banget rupanya ya..Senang juga sekali-sekali melihat lampion warna merah meriah dimana-mana mirip berada di ruang pesta ya..
Begitulah nasib manusia bertubuh kurang semampai Mb Dani, mudah hilang di keramaian.
Glodok dengan lampion2nya ini emang serasa di ruang pesta. Suasana festivalnya kental sekali. Kalau yang jelek-jelek ditarik dari sana, pasti serasa di negeri dongeng deh 🙂
pasti rame ya disitu mbak evi. . . . kirimin kue keranjangnya dong kejogja sini. . .
Rame sekali Mas. Kirim ke Jogja kegedean diongkos kali ya 🙂
ongkirnya gratis deh. . . nti aku bilang ama pak posnya. . . .
Wah pak pos bisa kehilangan mata pencaharian dunk 🙂
Mbak Evi, saya jadi ngelirik kue keranjang yang dikirimin tetangga…hehe, masih dibungkus pake daun dan kelihatannya menggoda banget, mau?
😉
Seingat saya, saya belum pernah ke glodok, mungkin karena nggak pernah menetap di Jakarta jadi nama tempat-tempat itu hanya familiar di telinga tapi tidak di mata…hehe 😀
Kue keranjang memang kelihatan menggoda. Tapi sejujurnya nih Mbak Bintang, aku pikir lebih enak dodol garut hehehe..
macet gak bun di glodok? kalau kue keranjang aku punya nih kiriman dari mertua
Macet Mb Lid..Gimana kue keranjangnya, enak? Hehehe…
Wah seru banget suasana Glodok kalo pas Imlek ya, mbak. Merah memang ciri khas Imlek; lampion, dan… angpao (*halah*)
Memang Bli, merah dimana-mana..Seperti masuk ke dunia kanak-kanak 🙂
jarang perhatikan sih, Uni… karena kalau Imlek biasanya saya ngetem di kasur…
Hahaha..Ngetem di kasur…Habis pusing ya mendengar petasan mleduk dimana-mana 🙂