Pada suatu ramadhan Bapak dan Ibu bikin pengumuman, siapa saja yang puasanya penuh akan dibawa jalan-jalan menuju Panorama – Bukittinggi. Sebagai anak kampung yang mainnya cuma muter-muter di kampung, Bukittinggi itu tempat yang jauh, tempat di belakang bukit dan awan, yang hanya bisa diakses oleh segelintir orang, termasuk yang puasanya penuh sebulan.
Maka persiapan menjelang piknik ke Panorama itu seperti mau naik haji: Saya menerka-nerka kota itu seperti apa dan bagaimana rasanya menempuh perjalanan dengan delman yang hampir tong waktu 2 jam. Selamat malam sebelum berangkat aku gelisah, gak bisa tidur. Bolak-balik kasur, baju ganti, tas dan kirim yang akan dipakai besok masih berada di tempatnya. Karena rumah kami tak punya selai, patokan waktu berdasarkan suara adzan dari surau dan langgar, maka saya membangun ibu beberapa kali juga apakah sudah mendengar Inyiak Kalo (imam di surau kami) mengumandangkan adzan subuh? Saya takut kalau ibu ketiduran lalu pikniknya batal, kan beda urusannya. Soalnya saya sudah cerita pada teman-teman tentang hari besar itu.
Pada hari itu Bapak-Ibu memanjakan kita semua. Baik yang puasanya penuh maupun yang tidak. Makan-makan di restoran Disebut Sianok, jajan es lilin di kebun binatang dan masuk rumah adat yang ada di kebun itu. Rumah bergonjong itu menyimpan benda-benda pusaka Minangkabau selain juga tersimpan tulang ikan yang sangat besar. Saya sampai pusing mikirin kok ya ada ikan sebesar itu. Terakhir kami utama ke bekas peninggalan Benteng Belanda bernama Fort de Kock dan berfoto di sana. Adik bungsu saya masih ngemut es saat di foto.
Coba tebak, dalam foto itu aku yang mana? 🙂
Tulisan ini di Bukan Kontes Biasa: TASBIH 1433 H di Blog Dhila13
27 comments
[…] Evi […]
wah…bukittinggi. itu kampung, eh…kota saya, ibu evi.
senang bertemu & berkenalan dengan ibu di dunia maya.
salam ska
*skampuang 🙂
assalaamu’alaikum wr.wb.
Ciek lai basuo rang sakampuang..:) Ondeh blogger ko sero bana. Senang pula hati saya berkenalan dengan Rahmat 🙂
waa… potonya klasiik..
aku catat ya ibuu 😀
Iya Dhila thanks ya 🙂
asiknya masa kecil tamasya ke kota naik bendi..
kalo sekarang dari Magek ke Bukik GPL dong ya.. 😀
***takanang jo Bukik, taragak dun sanak sadonyo….
Sekarang pakai angdes mah cuma 25 menit, full music lagi 🙂
Bagamaimana pun foto hitam putih akan mempunyai kenangan manis tersendiri apabila mampu dirawat dengan baik. Foto diri Mbak Evi yang duduk dekat Bapak itu ya?
2 jam naiak bendi ka panorama dari ma tu ni ?
Dari Magek – Pakan Kamih sanak Is..Mungkin juo wakatu labiah saketek, karena tahun ambo kanak-kanak tu jalan kan alun sarancak kini 🙂
Kenangan sangat manis Uni, berharap kitapun bijak meracik kebersamaan agar menjadi kenangan indah bagi anak-anak ya. Salam
Semoga mbak Prih, insya allah suatu saat anak-anak kita merasakan hal yg sama. Amin
wajahnya hampir sama ya mbak, terus terang ndak bisa nebak, mbak Evi yg mana
Aku yg dekat ibu Mb Ely 🙂
Satu untuk semua dan semua untuk satu…sungguh indah mbak yach…yang lebih mantep…fotonya masih terawat dengan baik mbak yach
Minjam slogannya The Three Muskeeters Mas Budi. Fotonya sdh tak scan jauh2 hari, biar tak menguning
Ondeh.. sero yo jalan2 basamo keluarga 😀
Hehe..begitulah zico, akhirnyo jadi kenangan tak terlupakan
photonya tahun berapa tu uni?
coba saya tebak, kalau gak salah uni yang dekat ibu ya?
Hehehe..Tatakok di ajo ko mah. Tahunnya lupa Jo, baru kelas 2 SD deh
Begitu saya perhatikan, tanpa melihat foto yg sekarang, menurut saya adalah yg sebelah kiri mbak. Betul gk?? hehehe … salah ya?
Kayaknya salah deh Mas Harjo haha..
salah satu kita melakukan sesuatu (seperti puasa) adalah karena adanya motivasi imbalan, entah apapun itu bentuknya
Anak2 gitu lho Mas Narno. Pernah juga puasa kami di hargai pakai rupiah hehe
wah, ampun deh mba, aku ndak bisa nebak, ini aja baru mau kenalan. kunjungan perdana *salam kenal yo mbak 🙂
Hehe..selamat datang Mbak..Senang berkenalan denganmu 🙂
Foto hitam putihnya kereen..
Yang mana ya Mba Evi..*penasaran*